Mengapa Dosen Mati Kutu Menulis di Koran?

Pekerjaan sebagai seorang dosen adalah pekerjaan yang mulia lagi amat bergengsi. Bayangkan, tiap hari berpenampilan rapi, mengajar mahasiswa yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa, dan acap klimis karena selalu di ruangan ber-AC, atau minimal berada dalam ruangan tertutup yang nyaman. Saban hari berkutat dengan buku, surat kabar, jurnal ilmiah, diktat, dan sejumlah diskusi serta simposium berskala lokal, nasional, bahkan internasional.

Menyedihkan saat sebagian dosen ternyata tak kuasa apalagi piawai menulis di media massa. Toh kalaupun ada, jumlahnya teramat sedikit. Sebagai mahasiswa, misalnya, sebenarnya akan bangga luar biasa jika membaca sebuah artikel opini di surat kabar yang ditulis oleh dosennya. Jadi proses pembelajaran seakan tak hanya di dalam kelas, namun juga meluas sampai segala penjuru dan disebarkan kepada khalayak luas.

Kita dapar memahami alur berpikir dan sikap diambil para dosen atas sebuah fenomena, peristiwa, atau persoalan yang sedang terjadi, bukan hanya saat dia berdiri di depan kelas. Tapi kita dapat terus mengikuti nikmatnya perjalanan intelektual dengan membaca tulisan dosen, lewat tulisan di media massa. Apalagi saat membahas isu-isu aktual yang terjadi di negeri ini. Seakan terjadi dialog batin disana. Sayang seribu sayang, impian semacam itu minim terwujud nyata.

Mengapa dosen “emoh” menulis di surat kabar? Pertama, mayoritas dari mereka mengaku sudah kehabisan waktu. Sibuk mengajar, menyusun rencana pembelajaran, mengurus disertasi doktoral, dan seabrek alasan lainnya. Lalu mengapa tokoh-tokoh super sibuk semisal Efendi Ghazali (pakar Komunikasi-Politik, UI), Saldi Isra (pakar Hukum Tata Negara, Universitas Andalas), Komarudin Hidayat (Rektor UIN Jakarta), dan beberapa dosen lain tetap mampu menuangkan gagasannya di media massa?

Setiap orang punya modal berharga yang sama berupa waktu 24 jam sehari semalam. Menyadari hal ini, sebenarnya kita memiliki kesempatan yang sama untuk terus berkarya: menuangkan ide pikiran (hanya) dalam 4-5 lembar kuarto spasi ganda. Mengapa masih saja alasan kehabisan waktu menjadi dalih utama?

Kedua, kebanyakan dosen mengaku bahwa mereka tak terbiasa menulis dengan gaya bahasa jurnalistik khas surat kabar. Menurut wartawan lima zaman, Rosihan Anwar dalam bukunya Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (1984), bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Dalam kesempatan ini kita tambahkan: populer, luwes, dan dapat dipahami oleh awam sekalipun. Mengapa ini dapat terjadi? Sebab sejak masih menyandang predikat mahasiswa S1 mereka tak terbiasa menulis di koran. Itulah yang membuat para dosen yang sudah bertitel S3, bahkan guru besar masih saja merasa sulit menuangkan gagasan dalam 5000-6000 karakter.

Namun akan lain soal bagi mereka yang sejak muda sudah terbiasa menulis di surat kabar. Lihat saja sepak terjang Prof. Ikrar Nusa Bhakti (LIPI), Prof. Kasung Marijan (Unair), Prof. Eko Prasojo (UI), termasuk Prof. Azyumardi Azra (UIN Jakarta), dan Prof. Abdul Munir Mulkhan (UIN Sunan Kalijaga). Mereka adalah guru besar yang sedari muda suntuk menulis lewat surat kabar. Ketika sudah menyandang gelar guru besar, justru mereka ingin selalu dekat dalam derap langkah rakyat. Karenanya mereka menulis, menyebarkan gagasan pemikirarn, dan menghadirkan solusi-solusi menyegarkan lewat artike di media massa. Menulis di media massa juga dapat membuktikan bahwa seorang dosen tak hanya berada di menara gading.

Alasan ketiga yang menyebabkan dosen malas menulis di media massa adalah reward berupa nilai cum atau kredit poin untuk mengajukan jenjang kepangkatan yang teramat kecil. Konon, menulis di surat kabar hanya akan membawa tambahan cum 1 poin bagi dosen yang bersangkutan. Berbeda misalnya dengan sebuah jurnal di mana dosen dapat meraih hingga 15-25 nilai kredit.

Apalagi persaingan menulis di media massa sangat ketat. Sebuah harian nasional mencatat bahwa rata-rata artikel yang masuk ke meja redaksi mencapai 100 tulisan tiap harinya, namun yang dimuat hanyalah 3-4 tulisan saja. Terbayang bukan betapa sulitnya menembus koran, apalagi yang berskala nasional.

Apa pun dalihnya, jelas bagi seorang dosen tak elok apabila mereka enggan menulis di media massa. Mengingat dengan menulis di surat kabar, mereka telah bercengkrama dengan khalayak luas. Tak seperti jurnal atau diktat yang biasanya beredar di kalangan sendiri, terbatas pula.

Dengan menelurkan gagasan di media massa, berarti mereka telah ikut membangun negeri ini. Mengkritisi kinerja pemerintah (termasuk menghargainya kalau ada), menyoroti sebuah kebijakan, dan menyebarkan pemahaman untuk membuka cakrawala baru kepada segenap anak bangsa. Ketiga alasan di atas tak perlu selalu dijadikan kambing hitam untuk enggan menulis di koran. Wahai dosen, menulislah!

(Artikel oleh Bramma Aji Putra)

Satu tanggapan untuk “Mengapa Dosen Mati Kutu Menulis di Koran?”

  1. Salam kenal pak Iwan,
    Tulisan yang menarik. Btw. saya paling suka bagian ini:

    Menulis di media massa juga dapat membuktikan bahwa seorang dosen tak hanya berada di menara gading.

    Apa pun dalihnya, jelas bagi seorang dosen tak elok apabila mereka enggan menulis di media massa

Tinggalkan komentar